Surabaya, Paket Jalan ruas Gresik-Babat-Lamongan- Tuban yang dimenangkan oleh PT Citra Ptrasasti Konsorindo, masih menyisakan banyak masalah. Kontraktor pemenang terindikasi perusahaan yang selama ini bermasalah.
Dari penelusuran Swara Nasional tercatat PT CPK pernah terlibat dalam perkara Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK terhadap Walikota Tegal tahun 2017, uang yang diterima oleh Walikota Tegal terkait proyek pembangunan RSUD dimana PT CPK selaku kontraktor pelaksananya.
Selain itu sebelum 2017 PT CPK juga baru saja selesai menjalani hukuman black list dari LKPP. Bukan hanya itu bahkan pemilik perusahaan juga pernah menjadi narapidana kasus penipuan yang dilaporkan oleh PT Jasa Marga. Beberapa bulan sebelum memenangkan paket jalan ruas Gresik-Babat-Lamongan-Tuban, PT CPK juga digugat oleh pesaingnya dalam proyek pasar Johar semarang.
Hal ini mendapatkan tanggapan dari Sutikno, ketua DPD LPAI Jatim. Ia mengaku heran perusahaan dengan beragam masalah ini mampu memenangkan proyek bernilai ratusan milyar di lingkungan BBPJN VIII Surabaya.
“Panitia dengan begitu mudahnya memenangkan proyek ini kepada PT CPK. Setelah pelaksanaan baru kita tahu bahwa PT CPK hanya dipinjam saja oleh salah satu kontraktor di Jawa Timur” ujarnya kepada swara nasional minggu (1/17) melalui sambungan telepon.
Lebih jauh alumnus ITS ini menyatakan bahwa istilah pinjam bendera sekarang ini sudah berganti dengan istilah take over atau ambil alih.
“Suatu proyek dimenangkan PT A, nanti dialihkan kepada perusahaan lain dengan harga jauh dibawah kontrak. Biasanya perusahaan A ini terafiliasi dengan jaringan politik. Aturan memang membolehkan pengalihan pekerjaan atau dikenal dengan istilah di sub kontrak. Namun porsi untuk pekerjaan kecil bukan pekerjaan utama atau seluruh pekerjaan.” Jelasnya. Praktek take over ini biasanya bisa dilakukan untuk proyek bernilai besar.
“melihat paket jalan ruas Gresik-Babat-Lamongan- Tuban yang nilai kontraknya Rp.166.943.599.000, tentunya dimungkinkan praktek take over terjadi. Jadi PT CPK mengalihkan proyek ini ke perusahaan lain dengan nilai dibawah kontrak. Yang lazim terjadi pihak pemenang proyek ambil uang minmal 10%. Kami menduga pihak yang mengerjakan ambil proyek tersebut senilai Rp. 148 miliar. Sementara untuk urusan adminitrasi, pencairan termin dan tetek bengeknya PT CPK yang mengerjakan” urainya.
Praktek ini bisa terjadi sebab adanya mark up nilai proyek, dikalangan perencana dilingkungan PUPR diduga ada 3 jenis harga, pertama harga pekerjaan yang sebenarnya, Harga kontrak yang diinginkan dan harga pagu.
“harga kontrak itu besarnya 70-80 prosen dari harga pagu. Dengan nilai ini maka inspektorat atau badan pemeriksa lainnya sudah tidak akan melakukan audit investigasi. Sedangkan harga sebenarnya itu biasanya maksimal 90% dari harga kontrak. Jadi dihitung-hitung harga sebenarnya itu 63% dari harga Pagu.” Terangnya.
Praktek ini pada tahun anggaran 2018-2019 begitu menggila di BBPJN VIII, dengan adanya paket bernilai jumbo, dengan pemenang perusahaan yang namanya jarang terdengar di Jawa Timur. Sehingga wajar ketika kami konfirmasi Purnyoto selaku kepala satker tidak bisa memberikan penjelasan sebab praktek ini melibatkan petinggi kementrian.
“PPK, Satker, kepala balai hanya pion saja, yang main itu yang atas-atas” ujarnya tanpa merinci siapa yang dimaksud. Terkait pinjam bendera Swara Nasional mencoba melakukan konfirmasi kepada Ahmad Subki selaku Kepala BBPJN VIII melalui WhatsApp, adik Menkopolhukam Mahfud MD ini tidak memberikan tanggapan, sedangkan Menteri PUPR Basuki Hadi Mulyono, ketika di hubungi Swara nasional melalui SMS, terkait adanya pengaduan masyarakat ke Kasatker maupun ke Inspektorat yang tidak pernah melakukan tindakan terhadap kontraktor – kontraktor nakal yang merugikan keuangan Negara.